Minggu, 17 Januari 2010

Sejarah Kota Tangerang

Diawal sebelum menjadi Kota Tangerang secara administrasi Tangerang sudah sering berganti-ganti statusnya sebagaimana pada zamannya pada masa itu.
Dalam konteks keseluruhan pemerintahan di wilayah Tatar Sunda, kedudukan Tangerang mengalami beberapa kali perubahan dalam tingkat dan struktur pemerintahan. Sebagaimana telah dikemukakan, pada awal abad ke-16 Tangerang berstatus sebagai salah satu kota pelabuhan dalam lingkungan Kerajaan Sunda. Pada masa itu kota pelabuhan berada di bawah kuasa seorang syahbandar yang bertanggung jawab langsung kepada raja Sunda.

Ketika Tangerang berada di bawah kuasa Kesultanan Banten sejak 1526, sistem pemerintahannya berbentuk kemaulanaan dan pusat pemerintahannya berada di daerah pedalaman, yaitu di sekitar Tigaraksa sekarang. Tatkala sebagian daerah ini jatuh ke tangan Kompeni (sejak 1659), demi keamanan pemerintahan di daerah ini dipimpin oleh seorang komandan militer Belanda.

Namun, ketika seluruh daerah ini berada di bawah kuasa Kompeni Belanda dan stabilitas keamanannya telah tercapai sejak 1682, pemerintahan di daerah ini berbentuk kabupaten (regentschap) yang dipimpin oleh seorang bupati yang berasal dari kalangan penduduk pribumi.

Pada 1809 terjadi perubahan sistem pemerintahan secara menyeluruh di Hindia Belanda yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Tingkat dan struktur pemerintahan di daerah Tangerang berubah lagi. Kini Tangerang berada di bawah wilayah administrasi pemerintahan De stad Batavia , de Ommelanden , en Jacatrasche Preanger Regentschappen (Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta-Priangan) yang kemudian disebut Keresidenan Batavia.

Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah perintah seorang Asisten Residen yang selalu dipegang oleh orang Belanda. Selanjutnya sejak tahun 1860-an, daerah ini berstatus afdeling yang disebut Afdeling Tangerang yang tetap dipimpin oleh Asisten Residen. Daerah Afdeling Tangerang dibagi atas tiga distrik, yaitu Tangerang Timur, Tangerang Selatan, dan Tangerang Utara yang selanjutnya (sejak 1880-an) masing-masing disebut Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan Distrik Mauk; lalu ditambah dengan Distrik Curug.

Kepala distrik dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut demang, kemudian berubah jadi wedana. Tingkat dan struktur pemerintahan demikian di Tangerang berlangsung hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1942).

Pada zaman Jepang (1942-1945), Tangerang yang bertetangga dengan ibu kota pemerintah pusat Jakarta dipandang sebagai daerah strategis. Dengan demikian, tingkat dan struktur pemerintahannya dinaikkan jadi kabupaten, dan didirikanlah lembaga pendidikan militer
(Seinendojo).
Pembentukan Kabupaten Tangerang didasarkan Maklumat Jakarta Syu Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943), sedangkan peresmiannya dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan dengan pelantikan R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama. R Atik Suardi adalah aktivis yang kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah seorang pemimpin Paguyuban Pasundan, organisasi pergerakan nasional masyarakat Sunda. Ia pernah menjabat sebagai pembantu R. Pandu Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat.

Kedudukan Kabupaten Tangerang dikukuhkan kembali pada awal masa Republik Indonesia (19 Agustus 1945) dan berlaku terus hingga kini.
Kabupaten ini jadi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Sesuai dengan semangat dan tuntutan otonomi daerah serta perkembangan Kota Tangerang yang meningkat pesat, status pemerintahan di Kota Tangerang sendiri ditingkatkan. Tadinya kota itu adalah kota kecamatan, lalu jadi kota administratif. Kota Tangerang yang memiliki luas wilavah 17.729,794 hektar dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang.

Sebelumnya Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981. Dengan demikian, di Tangerang terdapat dua jenis pemerintahan daerah yang setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Sementara itu, dengan berdirinya Provinsi Banten (sejak 1999), Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang pun jadi bagian dari wilayah Provinsi Banten.


Sumber : Wahidin Halim Wali Kota Tangerang. ”Ziarah Budaya Kota Tangerang”, 2007.

Jumat, 15 Januari 2010

Teori Kota Lama

Kota lama merupakan potongan sejarah masa lalu yang masih utuh pada era modern. Dapat dikatakan sebagai penghubung sejarah. Juga sebagai warisan sejarah dan kebudayaan yang dapat menunjukkan identitas asli sebuah kota.

Dalam sejarah kota, paling sedikit dikenal dengan tiga teori pokok mengenai asal usul Kota Lama dimana pendekatan tersebut sangat penting dalam memahami proses perkembangan kota sampai pada saat ini.

1. Pendekatan teknologi dalam kota

Teori ini dikenal sebagai ‘thesis on the developmental sequence that led to the urban revolution’ yang dikembangkan oleh ahli sejarah kota, Gordon V. Childe. Teori berdasarkan suatu transisi dan evolusi kehidupan pedesaan kearah perkotaan yang disebabkan secara teknis oleh revolusi pertanian. Ada empat faktor yang berpengaruh dalam proses tersebut, yaitu :

  • Populasi bertambah
  • Organisasi masyarakat yang makin kompleks
  • Lingkungan sebagai sumber produksi pertanian
  • Teknologi yang meluas
2. Pendekatan ekonomi dalam kota

Teori kedua menekankan dinamika lain, yaitu faktor ekonomi yang mengubah permukiman desa menjadi kota. Teori tersebut dikembangkan oleh ahli sosiologi perkotaan, Jane Jacobs, dan dikenal sebagai ‘trade thesis’ karena menurut teori tersebut faktor perdagangan menjadi kriteria yang paling utama dalam perubahan permukiman pedesaan menjadi perkotaan. Dalam hal tersebut, lokasi serta hubungan dengan lingkungannya menjadi faktor yang paling strategis dalam perkembangan kota.

3. Pendekatan ideologi dalam kota

Teori ketiga dikenal sebagai ‘the religious – symbolic thesis’ yang dikembangkan oleh tokoh sejarah kota, Lewis Mumford. Menurutnya, faktor utama yang menyebabkan permukiman pedesaan menjadi perkotaan adalah budaya yang diekspresikan secara religius- simbolik. Menurut Mumford, kedua teori yang lalu belum membahas faktor-faktor yang bersifat tidak fisik (nonmaterial factors) yang amat penting dalam proses perkembangan kota.


sumber : Markus Zahnd. Perancangan Kota Secara Terpadu. (Soegijapranata University press: Semarang, 1999). Hal. 47